"Juantan Kuya"
gambar : dari google
20 tahun, terlalu lama, gak juga saya rasa baru kemarin.
Anak kecil itu masih tetap lucu dan lugu. Masih rewel
minta dibelikan lego dan buku cerita anak-anak, masih sering banyak tanya dan memusingkan
ibunya hingga berjam-jam lamanya. Menangis adalah hobinya. Ayahnya sangat
menyayangi juantan, maklum anak pertama. Kalau juantan sedang sedih ayahnya
selalu membuatkan gambar yang indah dan menyanyi lagu beatles untuk
menghilangkan sedihnya. Hidupnya berkecukupan namun dunianya selalu melankolis,
masa kecil yang menyenangkan dalam nuansa kesedihan, indah dan berbekas.
“Kakak, apa kabar?” Katanya. Seketika saya melongo
juantan memanggil saya kakak. Dan merasa heran, sejak kapan anak ini jadi
ramah. Dia masih sama seperti 20 tahun lalu, bawel, banyak nanya dan selalu
ingin tahu. Pikirannya masih kritis dan detail, dia akan marah bahkan menangis
kecewa jika mendapat jawaban alakadarnya. Dan pertanyaan “apa kabar” darinya
bagaikan pertanyaan yang dilontarkan professor kepada mahasiswa bodoh dalam sidang
akhirnya. Bagaimana saya bisa menjelaskan detail kabar saya saat ini yang dalam
kenyataannya saya pun mempertanyakan keadaan diri pada diri sendiri
berulang-ulang setiap hari. Jawaban paling aman adalah diam, menahan nafas dan
meminta dijawab pada anak kecil yang memberi pertanyaan sederhana “apa kabar”
Juantan mengernyitkan dahinya seolah matanya berbicara
melihat saya teman kecilnya yang semakin tua semakin gak asyik untuk diajak bercengkrama.
Sambil memainkan lego kesukaannya anak kecil itu memberi nasehat, “untuk apa
menjadi tua jika pemikiranmu lebih bodoh dari dirimu ketika berusia balita”
kemudian juantan pergi dengan rasa kecewanya.
Pertemuan siang ini sungguh mengharukan. Juantan kuya, yang kurindukan.
20 Feb 2018